Jumat, 14 Mei 2010

Ada Lintah di Hidung Anakku


Kesaksian ini diawali oleh liburan anak-anak kami ke air terjun Kapulaga, Ciater tanggal 4 Juli 2009 yang lalu. Karena pertimbangan medan yang sulit, Saya dan Esther, isteri saya, memutuskan tidak ikut rekreasi yang diadakan Sekolah Minggu GUP Bandung tersebut. Daripada di sana kami harus mengejar-ngejar Christopher (2,5 tahun) yang sedang aktif-aktifnya bereksplorasi. Tetapi kami mengijinkan kedua putri kami, Christela (9 tahun) dan Christabela (7 tahun) ikut bersama teman-temannya dalam persekutuan sehari tersebut.

Semua berjalan seperti biasa ketika tiba-tiba hari Selasa, tanggal 14 Juli, kami mendapati Tata, nama panggilan untuk Christabela, mimisan sepulang sekolah. “Mungkin panas dalam,” begitu kami mengambil kesimpulan awal waktu itu. Memang diantara ketiga anak kami, hanya Tata yang pernah mimisan. Menurut dokter pembuluh darah di hidungnya agak rapuh, jadi mudah pecah dan mimisan. Jadi kami memberinya minuman yang mencegah panas dalam dan juga kapsul berisi cacing gelang tumbuk yang biasanya kami pakai untuk mengobati anak-anak kami ketika mereka radang tenggorokan atau panas dalam.
Keesokan harinya saya terkejut ketika mendapati Tata bangun dengan hidung penuh darah kering. “Mungkin kurang kalsium dan vitamin C,” kami mengambil kesimpulan berikutnya setelah mencari info sana–sini.Kami tidak terlalu kuatir karena Tata tetap aktif, bermain dan bertengkar dengan kakak dan adiknya, seperti biasa. Apalagi ketika kami melihat bahwa mimisan itu hanya terjadi di satu lubang hidung saja, yaitu lubang hidung sebelah kiri, tanpa disertai demam atau tanda-tanda lain yang mengkhawatirkan. Jadi kami memberinya tablet kalsium dan vitamin C.
Hari berikutnya, setelah bangun, saya bergegas menyalakan lampu kamar anak-anak untuk memeriksa hidung Tata. Saya lega karena tidak ada bekas darah di sana. Hanya saja ada bekas darah yang mungkin bercampur ingus (atau lendir, tepatnya) di bantalnya. “Hm, obatnya mulai bekerja,” saya bergumam sambil mengganti sarung bantalnya.
Hari Jumat pagi, saya kaget ketika Tata bangun dengan hidung dan pipi penuh darah kering. Sebelum berangkat sekolah, istri saya membersihakn hidung Tata sekali lagi. ”Itu masih ada darah keringnya,“ katanya sambil menyekakan tissue di lubang hidungnya.
“Ta jangan diisep….Tu khan masuk lagi,” rupanya istri saya kesulitan menarik “benda” yang dikiranya sebagai darah kering di lubang hidung kiri Tata.
“Tata enggak isep kok, Mi..” Tata berkilah.
“Ya sudah, jangan lupa bawa tissue!”
“Mau ke dokter? Eh, hari ini ga bisa. Saya ngajar sampai malam.” Kebetulan hari Jumat acara saya cukup padat.
Jumat malam itu saya dapat info bahwa salah seorang keponakan saya ternyata waktu kecil juga sering mimisan. “Terus gimana Ci? Ke dokter? Apa kata dokter?“ Saya bertanya kepada kakak saya. “Wah bingung juga," kata dokter ini begini, kata dokter itu begitu. Tapi sembuh sendiri rasanya.” Begitu jawaban yang saya terima.
Hari Sabtu pagi kami ke Jakarta karena ada anak saudara yang menikah. Kemudian hari Minggu dan Senin kami berlibur ke Cipanas, Garut. Walaupun Tata sempat beberapa kali mimisan tapi secara keseluruhan kami menikmati liburan kami. Pada saat itu ada seorang teman lain memberi info” Pakai air minum beroksigen. Katanya ada anak yang sering mimisan waktu minum air tersebut selama seminggu atau beberapa hari, jadi sembuh, tidak mimisan lagi.” Kami mengikuti saran tersebut. Kami memberi Tata air minum beroksigen.
Hari Rabu tanggal 22 Juli, Esther bertemu dengan temannya yang kebetulan mempunyai 2 anak yang sering mimisan ”Setiap hari, kadang-kadang mimisannya pagi dan sore. Yang besar pernah dibawa ke dokter, maklum kitanya panik. Maklum anak pertama. Apalagi Papahnya. Ga boleh aja anaknya pusing sedikit. Harus langsung ke dokter. Sama dokter THT cuma dikasih multivitamin. Tidak berapa lama, sembuh sendiri. Jadi waktu yang kecil mimisan juga, ya kita sudah tahu. Jadi kita kasi multivitamin aja kayak cicinya,” begitu info yang diterima istri saya. Karena itu kami juga memberikan multivitamin kepada Tata.
Beberapa hari kemudian, Tata masih terus mimisan, tapi jumlah darah yang keluar relatif sedikit dan hanya sebentar. Biasanya begitu dilap dengan tissue, darahnya langsung berhenti. Seingat kami hanya sekali darahnya keluar agak lama. Tapi waktu kami menempelkan es batu di batang hidungnya, darhanyapun langsung berhenti. Kami mulai memberitahu beberapa teman dekat kami meminta dukungan doa untuk Tata.
Hari Jumat malam tanggal 24 Juli. Ketika kami sedang bercengkerama di ruang tamu, tiba-tiba Tata mimisan. Saya segera mengambil tissue. Waktu saya mengelap hidungnya, saya kaget karena “benda” yang semula saya kira gumpalan darah tiba-tiba bergerak masuk lagi. “Jangan-jangan lintah” saya berbisik kepada isteri saya “Ah nggak mungkin! Lintah dari mana?” sanggah Esther yang tidak kalah terkejut mendengar bisikan saya.
Saya mengajak Tata ke kamar supaya bisa mengadakan observasi dengan lebih enak. Sementara isteri saya segera menelpon seorang kenalan untuk meminta pendapatnya.”Kayanya bukan lintah. Mungkin cuman darah beku aja, karena kata Om Yakub, lintah itu ukurannya sebesar jempol pria dewasa”, Esther menyampaikan pendapat yang baru saja didengarnya sambil berusaha menenangkan dirinya.
Tapi kenyataan yang saya lihat dikamar sama sekali berbeda. Dalam posisi tidur, benda itu tiba tiba keluar dan bergerak melawan gravitasi, mengarah ke atas Segera saya searching di internet tentang mimisan dan lintah di lubang hidung, dan menemukan pada di Wikipedia: "Penyebab lokal terutama trauma, sering karena kecelakaan lalulintas, olah raga, (seperti karena pukulan pada hidung)yang disertai patah tulang hidung(seperti pada gambar di halaman ini),mengorek hidung yang terlalu keras sehingga luka pada mukosa hidung, adanya tumor di hidung, ada benda asing (sesuatu yang masuk ke hidung) biasanya pada anak-anak, atau lintah yang masuk ke hidung, dan infeksi atau peradangan hidung dan sinus (rinitis dan sinusitis)…”
“Ya ampun!!! Tuhan apa yang harus kulakukan?" Saya berdoa dalam hati dan segera searching tentang cara mengeluarkan lintah dari hidung dan menemukan caranya di internet, yaitu dengan memancingnya dengan gelas berisi air.
Segera saya mengambil air dengan gelas dan mendekatkannya ke hidung Tata. “Lho, buat apa?“ tanya Esther keheranan. “Kamu baca aja di computer” dan benar ekor lintah itu menjulur sepanjang 1 cm menuju ke dalam gelas. Astaga! Saya berusaha menangkapnya, tapi dengan gesit lintah itu masuk kembali ke hidung Tata. ”Ta… Berdoa Ta! Ada lintah di hidung Tata! Minta Tuhan Yesus mengeluarkannya!” Agak panik saya memberi tahu anak saya. Saat itu juga Tata menangis ketakutan. Disusul dengan Christela yang sambil menangis langsung berteriak histeris,”Cepat panggil dokter! Ayo Pi! Telpon dokter! Sekarang!”
“Tenang, ci! Belum tentu lintah koq. Mending kamu berdoa aja! Minta Tuhan Yesus menyembuhkan mimisan Tata” kata Esther sambil mulai membaca artikel yang ada di layar monitor.
“Tolong ambil garam. Taruh di tissue. Ntar kalo lintahnya keluar langsung ditangkep pake tissue itu!” Saya mencoba cara lain untuk melumpuhkan lintah itu. Saya meminta Esther membantu. Walaupun ia nampak ketakutan, ia mencoba melakukannya.Tapi ketika ekor lintah itu keluar, ternyata usaha kami gagal lagi. Malah kali ini garamnya berhamburan ke kasur dan lantai kamar anak-anak.
“Harus pakai cara lain, nih. Tapi apa ya…. “ Saya berusaha mencari cara lain untuk mengeluarkan lintah itu
“Aneh darimana ya lintahnya?” Esther berguman sambil menelpon Lily, salah seorang teman kami, “Li, tolong bantu doa ya, di hidung Tata ada lintahnya……Apa?…. Iya…. Hah? Dari Kapulaga? Jadi?…. Sebesar biji beras?”
Sementara itu saya mengambil botol semprot yang biasanya dipakai untuk parfum refill, kebetulan kami punya satu yang belum dipakai. Saya isi dengan larutan garam pekat. Dengan tujuan menyemprot lintah itu ketika ia keluar. “Rasakan! Kali ini saya pasti tidak akan kalah cepat!” pikir saya dalam hati.
“Kata Lily, lintahnya berasal dari Kapulaga. Di sana banyak lintah kecil-kecil, sebesar biji beras. Malah guru-guru sekolah minggu pada ngebersihin anak-anak sesudah mereka main air. Katanya pada nempel di kaki, paha, malah ada yang masuk ke mulut segala… Mungkin Tata kelewat…” isteri saya melaporkan info mengejutkan yang membuat semuanya menjadi masuk akal. Waktu itu Lily memang ikut ke Kapulaga.
“Tapi Tata ga maen di tempat itu” kata Tata
“Atau waktu kamu jatuh mungkin, kamu khan kepleset waktu jalan di batu-batu itu khan? Sampai bajunya basah semua,“ sambung Christela.
“Mama, Inget nggak, beberapa hari setelah ke Kapulaga, Tata sempat bilang ada sesuatu di gusinya dan kita bilang bahwa itu mungkin sariawan.” Saya mencoba merangkaikan fakta.
“Jadi masuknya dari mulut?”
“Terus waktu pagi-pagi, sebelum Tata sekolah, kamu pernah membersihkan hidung Tata. Ada darah kental yang susah sekali dibersihkan. Pasti itu ekor lintah yang masih agak kecil” Saya mencoba mengingatkan Esther, bahwa ia pernah melihat ekor lintah itu sebelumnya.
“Sekarang dia sudah membesar, Tadi khan sudah kira-kira satu setengah centi ekornya yang keluar. Ayo kita coba lagi! Ntar kalo dia nongol kamu semprot ya” Saya memberi instruksi sambil mendekatkan gelas berisi air itu ke hidung Tata.
Tak lama kemudian ekor lintah itu kembali terjulur. Dengan sigap Esther menyemprotkan larutan garam itu. Kontan lintah itu masuk lagi ke lubang hidung Tata dan mengeluarkan buih tanda kesakitan.“Tissue. Minta tissue, Tata mau buang ingus”
Begitu selesai buang ingus, ekor lintah itu muncul lagi. Rupanya ia terdorong ketika Tata buang ingus. “Semprot lagi, Mi!” Lagi lagi lintah itu masuk kembali meninggalkan buih yang memenuhi lubang hidung Tata. Memaksa Tata membuang ingusnya lagi. Hal ini berulang beberapa kali sampai Tata kecapaian dan jatuh tertidur.
Esther menelpon Ika, sahabatnya yang tinggal di Surabaya. Cukup lama mereka berdiskusi. “Ika mengingatkan ayat di Kejadian 1:26, bahwa manusia diberi kuasa atas binatang bahkan dengan tegas dikatakan binatang melata yang merayap di bumi. Jadi mestinya lintah itu bisa kita perintahkan supaya keluar. Bukannya anti dokter atau apa. Saya hanya ingin kita melakukan apa yang Tuhan mau. Bayangkan dari sekian banyak anak, kenapa ini terjadi pada anak kita, pasti Tuhan punya maksud dan mau memberkati keluarga kita.”
Dalam diskusi lanjutan yang kami lakukan malam itu, kami dingatkan kembali beberapa hal. Yang pertama adalah dalam tinggal tenang terletak kekuatan kita. “Entah kenapa seakan saya mendengar pujian yang berkata: di saat badai bergelora kuakan terbang bersamaMu… Kutenang sbab Kau Allahku “ kata Esther waktu itu. Dalam hati saya mengaminkan perkataan isteri saya. Biasanya Esther adalah seorang yang mudah panik. Khususnya jika menghadapi hal-hal yang berkenaan dengan anak-anak.
Kedua kotbah Pst Jeffry Rachmat (JPC Jakarta) yang pernah kita dengar. Waktu itu beliau memberi ilustrasi tentang kopor miliknya (atau barangkali Handphone?) yang bermerk “A” sebut saja begitu. Seandainya kopor atau handphone itu rusak, alangkah bijaksananya kalau kita memperbaikinya di tempat service resmi untuk merk “A” tersebut. Karena mereka tahu technologinya dan juga punya semua sparepartnya. Dalam hal ini kami dingatkan bahwa Tata adalah milik Tuhan. Bukan cuma anak kami semata, tapi dia adalah juga anak Tuhan Yesus. Karena itu tidak salah jika kami menyerahkannya kepada Sang Bapa Maha Kasih sekaligus Pencipta segalanya. Dia tahu betul “tekhnologi”-nya dan juga punya semua “sparepart” yang diperlukan!
Berikutnya kami dingatkan melalui kotbah Bpk Pdt Daniel Aleksander. menurut beliau seharusnya kita memiliki roh yang kuat yang senantiasa bersekutu dengan Tuhan, 24 jam dalam sehari. Itu bisa dilakukan, karena roh kita tidak pernah tidur sehingga kita bisa menikmati 1 Tesalonika 5:16 – 18, yaitu bersukacita, berdoa, mengucap syukur senantiasa dan dalam segala hal! Dan tidak seharusnya kita didominasi oleh jiwa yang kuat. Karena jiwa yang kuat akan membuat kita berpikir seandainya begini gimana…. seandainya begitu gimana secara terus menerus yang akan membuat kita stress berlebihan.
Yang terakhir kami dingatkan tentang pengalaman kami pada tahun 1997. Waktu itu Esther mengalami hamil kosong. Usia kandungannya kurang lebih 4 minggu. Dokter berkata agar Esther segera dikiret untuk membuang kantong kehamilannya yang kosong. Waktu itu kami memutuskan untuk menunda dan meminta waktu, karena kami mau berdoa meminta kasih karunia Tuhan, supaya Esther tidak perlu dikiret. Dokter memberi waktu 2 minggu. Ternyata benar, Tuhan melimpahkan anugerahnya. Kantong kehamilan itu keluar sendiri dan Esther tidak perlu dikiret.
Jadi malam itu kami mulai mengarahkan doa-doa kami supaya lintah itu keluar sendiri. Kami memerintahkannya untuk tidak berkembang biak. Kami memerintahkannya untuk keluar atau mati!
Kami mulai menghubungi beberapa teman, meminta dukungan doa mereka. Ada yang secara spontan mendukung, Ada juga yang menyarankan lebih baik ke dokter. "Kami tidak anti dokter. Tapi coba kita pikirkan. Kalu ada orang sakit parah, misalnya kanker. Biasanya akan dibawa ke dokter dulu. Baru setelah dokternya angkat tangan, mereka membawanya kepada Tuhan. Jadi Tuhan menjadi pilihan terakhir. Kami tidak mau seperti itu. Kami mau membawa Tata kepada Tuhan lebih dulu, tapi kami tetap terbuka, kalau memang Tuhan mengarahkan kami ke dokter. Kami pasti akan ke dokter. Jangan salah paham, ya."
"Lho emangnya kalo kamu melahirkan misalnya, kamu ga akan ke dokter? Kamu ngelahirin aja sendiri, gitu? Pasti kamu minta bantuan dokter khan?"
"Iblis saja bisa diperintahkan Tuhan untuk keluar dari seseorang, apalagi ini hanya lintah! Bagi Tuhan hal itu adalah hal yang sangat mudah"
"Kayaknya Kejadian 1:26 itu berlaku untuk binatang yang ada di luar tubuh kita deh. Kalau lintah itu ada di tanah, kita bisa matiin dengan ditaburi garam misalnya atau air tembakau. Kalau anak kita cacingan, khan kita kasi obat cacing untuk mengeluarkannya..."
"Wajar dong kalau kita bawa anak kita ke dokter untuk hal-hal yang serius seperti ini. Emangnya kalau kamu mau pakai baju hari ini, kamu tanya Tuhan dulu? Warnanya apa., modelnya yang mana?"
"Memang kalau kita ke dokter kayaknya pertolongan itu nyata. Segera. Tapi kalau menunggu Tuhan, kita ga tahu kapan pertolongan itu datang. Tapi kami ingin anak-anak mengalami bahwa kalau kita mengalami sesuatu, pertama kali harus kita bawa kepada Tuhan, bukan kepada yang lain. Khususnya Tata. Saya ingin dia mengalami bahwa Tuhan itu nyata. Bisa mendengar bahkan menjawab doa-doa kita. Saya ingat tahun lalu, waktu Tata masih kelas 1 SD. Saya pernah mengingatkan Tata untuk berdoa sebelum ulangan. Waktu itu Tata menjawab,’Emang Tuhan bisa membantu kita saat ulangan, Pi? Gimana caranya?’ Saya berkata: Pasti Tuhan mau membantu Tata. Tuhan bisa mengingatkan Tata hal-hal yang sudah Tata pelajari. Jawaban yang tadinya Tata tidak tahu atau lupa, tiba-tiba Tata ingat kembali”. Melalui pengalaman ini saya berharap ada sesuatu yang bisa Tata pelajari.
Hari-hari pergumulan kami berlanjut. Suatu saat, ketika lintah itu mulai menjulurkan ekornya, Christela langsung bernyanyi: "Dalam Nama Yesus, dalam Nama Yesus lintah keluarlah..." Lalu di saat lain, ketika lintah itu kami pancing dengan air, Christela membacakan ayat-ayat dalam kitab Mazmur. "Ayo Ci, baca yang keras, Ci!"
"Yang mana, Pi?" tanya Christela
"Mazmur 18"
“Untuk pemimpin biduan dari hamba Tuhan…”dengan penuh semangat Christela mulai membaca Mazmur 18. Saya bersyukur dalam hati, sambil tersenyum, ketika teringat betapa sering mereka bertengkar karena memperebutkan kursi mana yang akan mereka duduki, siapa yang akan mandi terlebih dahulu, atau masalah-masalah sepele lainnya, tapi dalam situasi seperti ini ternyata Christela menunjukkan kepedulian yang mendalam.
“Aduh capek, minum dulu ya….”
“Oke, Mami akan siapkan lagu pujian dari album Ir Niko, ya, ntar kalau kamu capai, kita puterin CD-nya dan kamu bisa istirahat. Tapi kalau sudah cukup istirahatnya, baca lagi ya ayat-ayat yang bisa menguatkan iman kita. Pokoknya kita harus terus berperang dengan penuh semangat! Sesudah minum, baca lagi ya, Chris….”
Kami juga memberi semangat kepada Tata, "Ayo, Tata harus kuat. Tata tahu khan tubuh Tata adalah Rumah Tuhan, tempat tinggalnya Tuhan Yesus, bukan tempatnya lintah. Tata harus usir lintahnya. Jangan diam aja. Nanti lintahnya makin betah lho, soalnya yang punya rumahnya diam aja. Pasti dia berpikir, ah yang punya rumahnya diam saja, berarti saya boleh tinggal di sini. Ayo tirukan Papi! Katakan: Dalam Nama Tuhan Yesus aku perintahkan lintah keluar! Tinggalkan tubuh Tata!" Tata mulai mengikuti kata-kata saya "Dalam Nama Tuhan Yesus aku perintahkan lintah keluar! Tinggalkan tubuh Tata!"
Sampai akhirnya hari Minggu tgl 2 Agustus, salah seorang teman kami yang mempunyai kenalan seorang dokter, tiba-tiba memberikan informasi, “Saya sudah sudah tanyakan dokter THT senior di Elim Medical Center, namanya Dr Sondang. Mungkin kami mau membawa Tata ke sana”.
“Baik, terima kasih infonya. Kami tetap terbuka pada pimpinan Tuhan. Kalau Dia memimpin kami untuk ke dokter, pasti kami akan ke dokter.”
Tidak lama sesudah itu, Ika, menelpon dari Surabaya. Ia berkata bahwa kemarin ia menceritakan permasalahan yang sedang kami hadapi kepada rekan-rekan pendoa yang dikenalnya. Dengan tujuan meminta bantuan doa. Tapi tiba-tiba salah seorang orang tua dari pendoa tersebut menelpon Ika dan menceritakan bahwa seorang kenalannya mengalami hal yang hampir sama dengan kami. “Jadi, sewaktu orang itu cuci muka di air terjun, matanya kemasukan lintah. Lalu dibawa ke dokter. Setelah dirontgen dan ketahuan letaknya bisa diambil koq. Sory, ternyata temenku cerita ke mamanya tentang permasalahan kamu. Terus baru saja aku ditelpon sama mamanya, ngomong begitu. Tapi ya terserah kalian, kalau tetap enggak mau ke dokter dan percaya bahwa lintah itu bisa keluar dengan sendirinya. Saya tidak bermaksud melemahkan iman kalian.”
Saya mengucapkan terima kasih kepadanya sambil berpikir, wah, sudah dua orang nih yang tiba-tiba saja berbicara tentang dokter secara spesifik kepada kami. Jangan-jangan Tuhan menghendaki kami membawa Tata ke dokter.
“Kalau begitu kita tidak sepakat, dong” Esther memulai diskusi kami yang ke sekian kalinya. ”Khan selama ini kita sudah mendoakan supaya lintahnya keluar sendiri. Tanpa bantuan dokter”
“Mungkin kita tidak sepakat dalam detilnya, tapi kita bisa sepakat untuk garis besarnya, yaitu bahwa lintah itu harus keluar. Dan dia tidak berkembang biak dalam tubuh Tata.”
Bagi saudara-saudari yang sering surfing di internet mungkin tahu tentang cerita seorang anak yang makan kangkung yang ada lintahnya. Anak itu meninggal karena lintah itu berkembang biak di perutnya. Terus terang, gambaran yang menyeramkan dari cerita itu sering menghantui kami. Saya pribadi selalu melawan ketakutan tersebut dengan memerintahkan lintah itu tidak berkembang biak dalam tubuh Tata.
“Lintah itu sudah sebulan di tubuh Tata. Kita sudah mendoakannya supaya keluar. Tapi kita juga terbuka, kalau Tuhan memimpin kita untuk ke dokter. Hari ini ada 2 orang yang secara spesifik menelpon kita untuk membawa Tata ke dokter. Saya percaya itu bukan kebetulan. Mereka khan tidak janjian. Satu di Bandung, satu lagi di Surabaya.” Saya menyampaikan pendapat saya.
“Oh ya, sebenarnya 3 orang lho, karena tadi waktu di gereja, saya bertemu dengan Edward. Waktu saya ceritakan keadaan Tata, dia langsung berkata, bawa saja ke dokter. Mungkin bagi dokter gampang untuk mengeluarkannya.”kata Esther
“Wah kalau begitu, kayaknya benar dong, kita harus membawa Tata ke dokter. Sudah 3 orang lho, yang ngomong tentang membawa Tata ke dokter sepanjang hari ini.”
Selama ini kami membayangkan Tata harus melewati serangkaian pemeriksaan yang rumit sebelum lintah itu bisa dikeluarkan. ”Kalau begitu kita akan doakan supaya besok lintahnya bisa dikeluarkan dengan mudah, tanpa harus melewati hal-hal yang aneh-aneh. Kita pasti bisa sepakat untuk hal ini, bukan?”
“Setuju!” Esther menyatakan kesepakatannya terhadap usulan saya.
“Memang mungkin bedanya tipis sekali antara apakah kita tidak mau ke dokter karena takut atau karena kita beriman bahwa Tuhan berkuasa untuk menyembuhkan kita. Tapi sekalipun kita melakukan kesalahan dalam hal ini, saya percaya Tuhan akan memberi kita kesempatan untuk memperbaikinya. Rasanya memang lebih menakjubkan kalau lintah itu keluar sendiri waktu kita doakan, tanpa harus ke dokter. Waktu kita menengking dan memerintahkan lintah itu untuk keluar, sementara Christela membaca ayat Firman Tuhan atau menyanyi Dalam Nama Yesus, tiba-tiba lintah itu keluar. Semua senang dan mungkin kita bisa berdalih itu untuk kemuliaan Tuhan. Kita bisa menyaksikannya di mana-mana. Tapi mungkin Tuhan punya maksud lain. Ya kita harus ikut Dia”
“Ya, seperti waktu saya mau dikiret, dulu, ga ke dokter karena takut atau karena beriman memang tipis banget bedanya. Dulu sih, terus terang, lebih banyak takutnya daripada karena beriman, gitu.”
“Tapi Tuhan baik banget, ya. Dia kabulkan doa kita. Kamu tidak perlu dikiret, dan semuanya beres.”
“Cuman untuk kasus lintah ini, khan kita tidak tahu kapan dia bisa berkembang biak, walaupun kita sudah berdoa dan memerintahkan agar lintah itu tidak berkembang biak, tapi mungkin kita perlu bertindak cepat. Lebih cepat lintah itu keluar, lebih baik.“
"Ok. Jadi besok kita bawa Tata ke dokter ya. Sore saja. supaya kita bisa coba lagi mengeluarkan lintah itu sendiri. Sekali lagi"
Hari Senin pagi, tanggal 3 Agustus, saya menelpon Elim Medical Center untuk menanyakan tentang dokter Sondang. "Dokter Sondang praktek hari ini, pak. Jam 16.00 sampai 18.00". Wah pertanda yang bagus, nih. Saya berkata dalam hati Semoga semuanya lancar.
Senin Siang, sesudah Tata pulang sekolah, sekali lagi kami mencoba memancing lintah itu dengan gelas berisi air. Ternyata tetap tidak bisa.
Jadi jam 14-an saya menelpon Elim Medical Center sekali lagi untuk mendaftarkan anak saya melalui telpon.
"Maaf, pak, untuk pemeriksaan dokter THT tidak bisa melalui telpon. Silahkan datang sebelum jam 16.00. Nanti Bapak bisa langsung daftar."
"Baik, pak. saya akan datang sebelum jam 16.00. Terima kasih."
Setelah bersiap-siap, saya dan Tata segera berangkat. Maklum tempat tinggal kami cukup jauh dengan Elim Medical Center. Kami naik motor, untuk menghindari kemacetan. Sebelumnya kami berkumpul untuk berdoa bersama. Kami memerintahkan lintah itu untuk "keluar dengan baik-baik" supaya Tata tidak perlu menjalani pemeriksaan yang rumit.
Kurang lebih jam 15.30 kami sampai ke Elim Medical Center. Saya segera menuju loket pendaftaran. " Aduh, maaf, dokter Sondang cuti, pak. Baru praktek lagi hari Kamis."
"Ya ampun! Tadi pagi saya telpon, menanyakan dokter Sondang. Katanya ada. Jam 14 tadi saya telpon lagi mau mendaftar. Katanya langsung datang saja. Kalau memang dokternya cuti kenapa tidak memberi tahu dari awal?"
"Maaf, pak mungkin operatornya tidak tahu. Jadi bagaimana, pak?"
"Ya sudah. mau gimana lagi?"
Terus terang saya agak kesal juga dengan kejadian ini. Tapi ya, dalam hati saya berusaha untuk mengucap syukur. Barangkali Tuhan tidak menghendaki kami membawa Tata ke dokter Sondang. Saya langsung menelpon isteri saya. "Saya akan ke Rumah Sakit Imanuel saja deh. daripada harus nunggu samapi hari Kamis lagi. Hari ini ada dokter THT yang praktek khan di sana?"
"Iya. Tapi dari jam 15.00, lho, sampai jam 17.00"
"Mudah-mudahan keburu"
Jadi saya langsung tancap gas ke Rumah Sakit Imanuel. Mendaftarkan Tata ke bagian THT dan mendapatkan nomor antrian 4."Dokternya baru datang, pak" Kata suster bagian pendaftaran.
"Kenapa, pak?" suster di bagian THT bertanya kepada saya, waktu saya menyerahkan nomor antrian anak saya kepadanya.
"Mimisan terus" jawab saya
"Oh, panas dalam?"
"Kayanya ada lintah deh di hidungnya"
"Hiiiii... koq Tahu, pak?"
"Iya, kemarin ini sudah sempet nongol ekornya. Cuma kita tidak bisa menariknya"
"Hiiii...Tadi siang juga ada yang begitu. Anak remaja umur 15 tahun lah kira-kira. Habis camping. Ga tahunya bawa oleh-oleh".
"Oh, sama dikeluarinnya sama dokter ini?"
"Bukan sih, dokter lain. Kebetulan kalau pagi ada 3 dokter yang praktek"
Pada saat itu pasien nomor antrian 2 dipanggil untuk diperiksa. Tata mengerjakan PR Matematika, yang sengaja dibawanya supaya bisa dikerjakan sambil menunggu giliran.
Tidak lama kemudian pasien nomor antrian 3 mendapat giliran. Tiba-tiba ada telpon yang meminta dokter segera ke ruang operasi karena ada pasien yang kritis. Jadi waktu kami mau masuk ke ruang dokter. Dokternya minta maaf dan berkata akan memanggil rekannya menggantikan dia memeriksa Tata. "Paling lama 20 menit lagi, pak. Rumah beliau dekat koq"
"Ok. terima kasih, dokter." Apa boleh buat, kami menunggu lagi
Akhirnya setelah menunggu kira-kira 30 menit, dokter itu datang. Namanya dokter Yan Edwin.Secara singkat saya menceritakan keadaan Tata. sambil menunggu pintu ruang prakteknya dibuka. "Oke. Nanti Om periksa dulu, ya. Jangan takut" Katanya menenangkan Tata.
"Silahkan, Pak. Mungkin anaknya dipangku saja supaya tenang". Beliau mempersilahkan kami sambil menyiapkan peralatannya.
“Wow, itu dia! Besar sekali!" Katanya setelah memeriksa lubang hidung Tata. "Sudah berapa lama?"
"Kurang lebih sebulan dok. Waktu masuk sih mungkin cuma sebesar biji beras."
"Jadi selama ini dia berpesta menghisap darahmu? Mmm posisinya kurang enak nih.Tunggu, sebentar, ya.”
Beliau lalu mengambil sebuah wadah, mungkin seperti baskom kecil. Mengisinya dengan air. Mendekatkan ke hidung Tata dan mulai mengaduk-aduk air itu dengan tangannya untuk menimbulkan bunyi air berkeriapan. "Katanya sih begini caranya."
Dalam hati saya berdoa meminta Tuhan menolong dan memakai tangan dokter itu untuk mengeluarkan lintah dari hidung Tata. Tidak lupa saya memerintahkan lintah itu agar segera keluar meninggalkan tubuh Tata.
Dokter memeriksa hidung Tata kembali. "Tu, dia mulai bergerak. Rupanya tidak tahan mendengar bunyi air tadi.Ha, ha... Mungkin dia kira ada sungai di sini. tunggulah sampai kau keluar nanti!" Katanya sambil tersenyum.
Tidak lama kemudian dokter Yan mengambil sebuah gunting kecil dengan ujung bercapit. Rupanya dia sudah siap beraksi. Dengan perlahan tapi pasti. dimasukkannya gunting itu ke lubang hidung sebelah kiri Tata. Lalu ditariknya kembali. "Wow, lihat! Sebesar ini!"
Saya terkejut melihat lintah kira-kira sepanjang 2 batang korek api dalam jepitan gunting dokter Yan. Selama ini saya membayangkan yah mungkin lintah itu hanya berukuran 4 cm. Pantas saja, semprotan air garam itu tidak menimbulkan efek yang kami harapkan.Suster yang membantu pun ikut berteriak menahan kaget. Mungkin bercampur ngeri atau geli melihat makhluk asing sebesar itu bercokol di lubang hidung anak kecil berumur 7 tahun.
"Sus, masukkan ke dalam botol. Mungkin mamanya mau melihat. Mau dibawa pulang, Pak?" Dokter meminta sebuah botol kepada suster.
"Jangan, Pi. Takut! Matiin aja! Ntar kalau lepas gimana?" Tata bereaksi secara spontan mendengar perkataan dokter.
"Boleh, dok." Saya menyetujui saran dokter. "Mami khan belum lihat. Ga apa. tidak akan lepas kok lintahnya," saya mencoba menenangkan Tata.
"Tidak ada yang tertinggal, dok? Atau masih ada yang lain?" saya bertanya untuk memastikan.
"Coba saya periksa lagi."
Tak lama kemudian, dokter itu memberi jawaban yang melegakan hati."Tidak ada, Pak. Tadi khan lintahnya keluar dalam keadaan utuh. jadi tidak ada yang tersisa. dan tidak ada yang lain.”
“Gimana sih ceritanya, Pak?"
Jadi saya ceritakan secara mendetil apa yang Tata alami selama sebulan ini.
"Wah untung ya Pak, dari mulut lintah itu masuknya ke lubang hidung. Kalau dia jalan ke tenggorokan atau kerongkongan bisa lain ceritanya."
"Iya, dok. Terima kasih" Saya menyudahi pembicaraan dan mohon diri. Lega. Dan tidak lupa bersyukur bahwa ternyata Tata tidak perlu menjalani pemeriksaan yang rumit yang selama ini kami takutkan.
Sesampai di rumah, saya langsung mengeluarkan lintah itu dari botol. Ternyata tidak segampang yang saya duga mulutnya menempel dengan erat pada botol itu. Saya harus mencongkelnya dengan gagang sikat gigi yang tidak terpakai.meletakkannya pada kertas untuk mengukurnya. Dan tepat seperti perkiraan saya, ketika lintah itu menjulurkan badannya, panjangnya kira-kira 2 batang korek api.
Segera kami berkumpul untuk berdoa, mengucapkan syukur atas pertolongan Tuhan.
"Ingat, Ta, Tuhan itu sangat baik. Tata tadi dengar khan Om dokter bilang untung lintahnya masuk di hidung Tata, tidak ke paru-paru atau ke bagian tubuh Tata yang lainnya." Tata mengangguk. Kami sekeluarga mengaminkan kebaikan dan kasih Tuhan untuk keluarga kami.(Nugraha Lestantun)(SUMBER)

0 komentar:

Posting Komentar